"Metal Kok Masuk Media Mainstream?": Dilema Komersialisasi di Skena Underground

Apakah band metal yang muncul di media mainstream masih bisa disebut “underground”?

ARTICLE

Uca S. Budiyanto - Project Manager Metal Attack Festival

5/25/20252 min read

Di dunia metal, kata "underground" bukan sekadar label. Ia adalah identitas, semangat, dan bagi sebagian orang, bahkan sumpah tak tertulis untuk tidak tunduk pada arus. Tapi di era digital hari ini, ketika semua bisa viral dalam satu klik, muncul satu pertanyaan sensitif yang masih sering memicu perdebatan:

Apakah band metal yang muncul di media mainstream masih bisa disebut “underground”?

Saya paham kenapa ini jadi persoalan. Metal lahir dari ruang-ruang gelap: garasi, studio pinggiran kota, dan panggung-panggung. Ada semangat perlawanan terhadap industri musik yang homogen. Maka ketika sebuah band metal tampil di kanal YouTube besar, masuk artikel media nasional, atau tampil di festival bersponsor, sebagian orang merasa kecewa—seolah mereka sedang “menjual diri” ke sistem yang dulu dilawan.

Tapi mari kita jujur.

Untuk menjaga agar band tetap hidup, mereka butuh biaya. Latihan butuh tempat. Rekaman butuh studio. Produksi rilisan dan merchandise butuh modal. Dan siapa yang menanggung semua itu? Kadang bukan scene, bukan fans, tapi justru sponsor dan dana pribadi personelnya sendiri.

Saya tidak bicara soal idealisme murahan. Saya bicara soal kelangsungan hidup. Saya lihat sendiri bagaimana band-band seperti Burgerkill, DeadSquad, dan Jasad mulai eksis di media mainstream modern.

Burgerkill pernah tampil di acara TV nasional, tapi kini lebih aktif melalui kanal YouTube, dokumenter, dan festival internasional. DeadSquad secara reguler muncul di media digital. Jasad merambah panggung global dan tetap aktif menjaga eksistensi digitalnya, termasuk rilisan merchandise yang konsisten.

Mereka tidak kehilangan esensi. Musik mereka tetap keras, lirik mereka tetap menggigit, dan sikap mereka tetap tegak. Yang berubah hanyalah medium dan skalanya. Masuk ke media besar bukan berarti kehilangan integritas. Justru inilah waktunya menunjukkan bahwa metal bisa tumbuh tanpa harus tunduk.

Yang salah bukan komersialisasi. Yang keliru adalah ketika komersialisasi mengubah arah dan substansi. Apakah band metal boleh tampil di media mainstream? Tentu boleh—selama tidak jadi gimmick semata. Apakah boleh kerja sama dengan brand? Sangat boleh—asal tidak mengorbankan jati diri. Apakah masih bisa disebut underground? Bisa. Karena underground bukan soal tempat tampil, tapi sikap dan cara berdiri.

Kita tak bisa menuntut band tetap hidup di jalan setapak gelap, tapi kita sendiri menolak menyalakan lampu untuk mereka. Jika kita ingin skena ini tumbuh, kita harus berhenti membuat pagar antara “yang dianggap sejati” dan “yang dianggap menjual”. Karena kadang, satu panggung besar bisa memberi nafas untuk puluhan panggung kecil berikutnya. Mari kita buka ruang lebih luas.

Karena memperjuangkan metal bukan berarti mengurung diri. Kadang, untuk menjaga bara tetap menyala, kita harus berani keluar—dan membawanya lebih jauh.